Mungkin
beberapa orang di luar pulau jawa tidak mengenal Sambas. Ya, salah satu daerah
di Kalimantan Barat ini memiliki beberapa keunikan dan keistimewaan tersendiri
yang berbeda dengan daerah- daerah yang lain. Contoh rill dari keistimewaan
tersebut salah satunya yaitu Kesultanan Sambas atau yang lebih sering dikenal
dengan Kerajaan Sambas. Sebagai anak
muda yang baik, kali ini saya akan membahas tentang sejarah awal terbentuknya
kerajaan Sambas.
Kerajaan Sambas kuno adalah kerajaan Wijayapura berlokasi sekitar muara sungai Rejang berdiri
sekitar abad ke 7 (sampai sekitar tahun 1675 di
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Penguasa Kerajaan Sambas
bergelar Ratu atau Panembahan. Panembahan merupakan gelar yang mulai populer
sejak 1500
karena digunakan oleh panembahan jimbun (alias Raden Patah), raja pertama Kerajaan
Demak. Sebelum berdirinya Kerajaan Sambas di
wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri Kerajaan-kerajaan yang
menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada,
urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya
sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah :
1. Keraton
I disebut Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
2. Keraton
II disebut Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
3. Keraton
III disebut Kerajaan Sambas pada abad 16 M.
4. Keraton
IV disebut Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara
otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang
tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365
M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh.
Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun
demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa
hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan
bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini
telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah
Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia
sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai
Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan
masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum
berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Panembahan Ratu Sapundak
Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu
Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut
dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "Panembahan Sambas".
Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang
ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah abangnya yang bernama Ratu Timbang
Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu
Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya.Ratu adalah
gelaran itu Raja laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di
Majapahit. Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan
besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur
karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan
Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari
dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang
tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang
lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang
lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di
Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang
Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Raja
Tan Unggal merupakan anak asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil naik tahta
dengan menyingkirkan putera dan puteri Ratu Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare
Nandung yang dikuburkan hidup hidup dibukit Sebedang dengan tuduhan kedua
bersaudara itu berniat kawin sesama saudara. Pada saat itu di wilayah ini sedang
dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah terjadi kudeta rakyat dengan
terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis dengan dimasukkan kedalam peti dan
petinya dibuang kedalam sungai Sambas sejak itu masyarakat Melayu di wilayah
ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa
ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan
terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
Setelah
lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini
melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga
kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan
Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang
masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak
diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu
Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh
Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan
Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan
Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata.
Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu
Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di
sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri
Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di
Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak.
Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak
yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden
Kencono ini kemudian bergelar Ratu
Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak
karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan
Ratu Sapudak yang bernama Mas
Ayu Anom.
Beberapa
lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika
Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun,
anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa
hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan
bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena
pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama
setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari
Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan
pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden
Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat
situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat
anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan
telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan
Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya
yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya
yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden
Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat
meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan
tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu
ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda
Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun
pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah
hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu
parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan
Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu
tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang
masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian
memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan
keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal Ayahnya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang
menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari
Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar
Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk
urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini memang
sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah
Ayah Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas.
Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena
disamping menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat
menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam di
Panembahan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman
yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan
sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang
menimbulkan kedengkian yang sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden
Sulaiman.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat
kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian
menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan
Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai
Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu
Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan
yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat
adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga
kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam
keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian
maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan
untuk hijrah dari Panembahan Sambas. Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga
dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan
oleh Ayahnya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan
sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk
Islam.