Kamis, 10 Mei 2012

Hukum Perjanjian

Hukum perjanjian kadangkala sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Mengapa? karena berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan sesuatu hal. Hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum. Hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing- masing pihak untuk memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.
Kesimpulannya, hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Maksudnya, tidak akan ada kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh masing- masing pihak. Sehingga perikatan merupakan konsekuensi logis adanya perjanjian.

Syarat syahnya perjanjian :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu bab yang halal.

Menurut pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendri atau objeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan ini.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perixinan dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada azasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akilbalig dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar