Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II memiliki sebelas prioritas nasional seperti yang dicantumkan dalam RPJM Nasional 2010-2014, dimana salah satunya adalah: daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik. Penetapan prioritas ini menggambarkan bahwa sampai sekarang masih terjadi kesenjangan wilayah, walaupun pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis telah dilakukan sejak Orde Baru.
Beberapa persoalan kesenjangan wilayah diantaranya:
(1) terkonsentrasinya industri manufaktur di kota-kota besar di Pulau Jawa;
(2) melebarnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI);
(3) kesenjangan antara daerah perkotaan dan perdesaan;
(4) kurangnya keterkaitan kegiatan pembangunan antar wilayah;
(5) terabaikannya pembangunan daerah perbatasan, pesisir, dan kepulauan.
Pada era 1970-an kesenjangan sudah mulai tampak. Pada era tersebut KBI telah menguasai lebih dari 80 % Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, di mana Pulau Jawa memiliki porsi terbanyak dalam penguasaan PDB nasional, yakni sekitar 46% dengan luas wilayah yang hanya 9% dari total luas wilayah Indonesia. Sementara itu, KTI hanya menguasai sekitar 18% PDB nasional.Kesenjangan ini juga dipengaruhi oleh ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan didominasi oleh sektor industri pengolahan, komunikasi, jasa, dan keuangan, di mana sektor-sektor tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi serta komparatif dan kompetitif yang tinggi antar sektor. Sementara itu, di perdesaan yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang perekonomian, menyumbang 14% bagi kontribusi PDB nasional yang masih kalah jauh dibandingkan dengan sektor komunikasi yang menempatkan lebih dari 16% bagi PDB nasional.
Dalam rangka penanganan kesenjangan wilayah telah diintroduksi istilah daerah tertinggal sejak RPJM Nasional 2004-2009 dan Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS PDT) 2004-2009. Daerah Tertingal didefinisikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional.
RPJM Nasional 2004-2009 menetapkan 199 Daerah Tertinggal sebagai prioritas yang perlu ditangani. Penetapan daerah tertinggal ini didasarkan atas 6 kriteria yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Daerah tertinggal tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan proporsi 123 kabupaten (62 %) berada di KTI, 58 Kabupaten (29 %) di Sumatera, dan 18 Kabupaten (9 %) ada di Jawa dan Bali. Gambaran distribusi daerah tertinggal yang berada di seluruh Indonesia menjadi koreksi bahwa persoalan kesenjangan wilayah bukan sekedar isu KBI vs KTI, tapi menjadi persoalan kita di seluruh wilayah Indonesia.
Pembangunan daerah tertinggal sebagai bentuk kesadaran kolektif dalam penanganan kesenjangan wilayah harus disikapi lebih serius. Sebab bagaimanapun kesenjangan wilayah merupakan isu sensitif bagi Bangsa Indonesia, yang dalam beberapa fase sering menjadi pemicu timbulnya gerakan sparatis.
Evaluasi dan Target Pembangunan Daerah Tertinggal
Kabinet Indonesia Bersatu mengklaim bahwa sampai Tahun 2009 telah dapat mengentaskan 50 kabupaten tertinggal, sehingga dari 199 kabupaten tertinggal masih ada 149 kabupaten tertinggal yang perlu ditangani. Namun karena sampai Tahun 2009 terdapat 34 daerah otonom baru yang berasal dari daerah induk yang berstatus daerah tertinggal, maka KIB jilid II dalam lima tahun kedepan memiliki kewajiban membina 183 kabupaten tertinggal. Dalam rancangan RPJM Nasional 2010-2014 telah dipasang target bahwa pada Tahun 2014 ada 50 lagi kabupaten tertinggal yang harus terentaskan.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sebagai bagian dari portopolio KIB disamping memiliki target mengentaskan 50 kabupaten tertinggal pada akhir Tahun 2014, juga memasang tiga target lainnya, yaitu: a) meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dari 6,6 % pada tahun 2010 menjadi 7,1 % pada Tahun 2014; b) berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal dari 18,8% pada Tahun 2010 menjadi 14,2% pada Tahun 2014; dan c) meningkatnya kualitas sumberdaya manusia (yang ditunjukkan oleh IPM) dari 67,7 pada tahun 2010 menjadi 72,2 pada Tahun 2014.
Prestasi dan komitmen pemerintah dalam menangani kesenjangan wilayah tidaklah keliru jika kita apresiasi dengan baik. Namun demikian ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan mengingat apa yang telah dilakukan pemerintah itu belum sepenuhnya sesuai harapan (masyarakat dan daerah).
Kinerja pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal salah satunya ditentukan oleh kualitas KPDT. Kedepan KPDT perlu meningkatkan kapasitas sumber daya internalnya. Bagaimanapun KPDT memiliki tugas dan fungsi yang sangat penting yaitu merumuskan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9/2005). Bahkan KPDT memiliki tugas dan fungsi tambahan dalam operasional kebijakan di bidang pembangunan infrastruktur perdesaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi lokal (Perpres No. 90/2006). Dan hampir 50 % kabupaten di Indonesia menjadi "pasien" KPDT. Maka tidak salah jika kementerian/lembaga lain, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat memiliki harapan yang tinggi atas peran yang semestinya dimainkan oleh KPDT di dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Penegasan Kabinet Indonesia Bersatu yang menempatkan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik sebagai salah satu prioritas nasional seyogyanya disikapi oleh internal KPDT secara lebih profesional dan percaya diri sehingga bisa menjadi leader (imam) yang efektif.
Hal lain yang perlu diperjelas yaitu menyangkut penetapan daerah tertinggal. Di sini perlu ada transfaransi dan konsistensi dalam methodologi, serta tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politis. Kekeliruan pemerintah dalam menetapkan status ketertinggalan suatu daerah akan berdampak pada efektifitas afirmatif action yang dilakukan kemudian.
Stategi Pembangunan Daerah Tertinggal
Penyebab utama ketertinggalan suatu daerah diantaranya karena kebijakan pembangunan yang terlalu berdimensi sektoral. Hal ini dibuktikan dengan dominannya penerapan asas dekonsentrasi dan orientasi sektoral pemerintah pusat. Di daerah juga setali tiga uang (sama saja). Ini terlihat dari kuatnya ego dinas dan pendekatan sektoral dalam RPJM Daerah.
Belum optimalnya pendekatan spasial dalam perencanaan pembangunan dapat dirasakan dari adanya ketimpangan antardaerah. Diabaikannya dimensi spasial membuat warna pembangunan daerah ditentukan "mekanisme pasar". Akibatnya modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan menarik, yang pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal tetap tertinggal.
Melihat problematika ini maka kedepan perlu dilakukan reorientasi strategi pembangunan daerah tertinggal. Pertama, strategi pembangunan ekonomi lokal perlu lebih menekankan dimensi spasial. Daerah perlu mengombinasikan pendekatan sektoral berbasis kluster di mana saat ini bisnis / sektor unggulan daerah maupun rakyat miskin cenderung mengelompok.
Kedua, perlu adanya integrasi strategi pembangunan perdesaan dengan strategi pembangunan perkotaan. Desa umumnya masih tertinggal dalam berbagai jenis infrastruktur. Dengan integrasi ini diharapkan dapat dikembangkan keterkaitan desa-kota (ruralurban linkage) dan jejaring antarkota (network cities).
Ketiga, diperlukan Big Push bagi percepatan pembangunan daerah tertinggal. Teori Big Push ini pertama kali dicetuskan Paul Narcyz Rosenstein-Rodan. Pada 1943, Rosenstein-Rodan menulis artikel tentang "Problems of Industrialisation of Eastern and South-Eastern Europe". Dalam teori yang belakangan dikenal dengan Big Push Model, ditekankan perlunya rencana dan program aksi dengan investasi skala besar untuk mempercepat industrialisasi di negara-negara Eropa Timur dan Tenggara.
Dalam konteks daerah tertinggal, "daya dorong yang besar" bisa diartikan modal dan infrastruktur. Aksesibilitas modal dan keberpihakannya kepada daerah tertinggal merupakan langkah strategis. Pengembangan infrastruktur yang menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat-pusat bisnis, pasar, dan jejaring internasional tampaknya perlu menjadi prioritas bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
Berdasarkan perhitungan awal KPDT total kebutuhan investasi di kabupaten tertinggal Tahun 2010-2014 mencapai sekitar Rp. 716 Triliun. Angka ini barangkali mendekati pemenuhan kebutuhan Big Push Model. Hanya saja upaya pemenuhan seluruh kebutuhan daerah tertinggal untuk keluar dari ketertinggalan hanyalah mimpi jika mengandalkan anggaran KPDT semata, karena alokasi anggaran APBN yang dikelola KPDT hanya sekitar Rp. 1 Triliun per tahun.
Besarnya dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan percepatan pembangunan daerah tertinggal perlu diupayakan dengan berbagai cara (yang syah) diantaranya melalui: (1) pemberian insentif kepada investor agar tertarik berinvestasi di daerah tertinggal, dan (2) mainstraiming alokasi anggaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk fokus pada penyelesaian ketertinggalan daerah.
Semua gambaran permasalahan dan kebutuhan daerah tertinggal di atas merupakan sebuah tantangan. Harapannya sekarang terletak pada pembuktikan komitmen pemerintah. Keinginan mengentaskan ketertinggalan daerah hendaknya tidak berhenti pada dokumen perencanaan semata, apalagi sekedar basa-basi.
Beberapa persoalan kesenjangan wilayah diantaranya:
(1) terkonsentrasinya industri manufaktur di kota-kota besar di Pulau Jawa;
(2) melebarnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI);
(3) kesenjangan antara daerah perkotaan dan perdesaan;
(4) kurangnya keterkaitan kegiatan pembangunan antar wilayah;
(5) terabaikannya pembangunan daerah perbatasan, pesisir, dan kepulauan.
Pada era 1970-an kesenjangan sudah mulai tampak. Pada era tersebut KBI telah menguasai lebih dari 80 % Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, di mana Pulau Jawa memiliki porsi terbanyak dalam penguasaan PDB nasional, yakni sekitar 46% dengan luas wilayah yang hanya 9% dari total luas wilayah Indonesia. Sementara itu, KTI hanya menguasai sekitar 18% PDB nasional.Kesenjangan ini juga dipengaruhi oleh ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan didominasi oleh sektor industri pengolahan, komunikasi, jasa, dan keuangan, di mana sektor-sektor tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi serta komparatif dan kompetitif yang tinggi antar sektor. Sementara itu, di perdesaan yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang perekonomian, menyumbang 14% bagi kontribusi PDB nasional yang masih kalah jauh dibandingkan dengan sektor komunikasi yang menempatkan lebih dari 16% bagi PDB nasional.
Dalam rangka penanganan kesenjangan wilayah telah diintroduksi istilah daerah tertinggal sejak RPJM Nasional 2004-2009 dan Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS PDT) 2004-2009. Daerah Tertingal didefinisikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional.
RPJM Nasional 2004-2009 menetapkan 199 Daerah Tertinggal sebagai prioritas yang perlu ditangani. Penetapan daerah tertinggal ini didasarkan atas 6 kriteria yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Daerah tertinggal tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan proporsi 123 kabupaten (62 %) berada di KTI, 58 Kabupaten (29 %) di Sumatera, dan 18 Kabupaten (9 %) ada di Jawa dan Bali. Gambaran distribusi daerah tertinggal yang berada di seluruh Indonesia menjadi koreksi bahwa persoalan kesenjangan wilayah bukan sekedar isu KBI vs KTI, tapi menjadi persoalan kita di seluruh wilayah Indonesia.
Pembangunan daerah tertinggal sebagai bentuk kesadaran kolektif dalam penanganan kesenjangan wilayah harus disikapi lebih serius. Sebab bagaimanapun kesenjangan wilayah merupakan isu sensitif bagi Bangsa Indonesia, yang dalam beberapa fase sering menjadi pemicu timbulnya gerakan sparatis.
Evaluasi dan Target Pembangunan Daerah Tertinggal
Kabinet Indonesia Bersatu mengklaim bahwa sampai Tahun 2009 telah dapat mengentaskan 50 kabupaten tertinggal, sehingga dari 199 kabupaten tertinggal masih ada 149 kabupaten tertinggal yang perlu ditangani. Namun karena sampai Tahun 2009 terdapat 34 daerah otonom baru yang berasal dari daerah induk yang berstatus daerah tertinggal, maka KIB jilid II dalam lima tahun kedepan memiliki kewajiban membina 183 kabupaten tertinggal. Dalam rancangan RPJM Nasional 2010-2014 telah dipasang target bahwa pada Tahun 2014 ada 50 lagi kabupaten tertinggal yang harus terentaskan.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sebagai bagian dari portopolio KIB disamping memiliki target mengentaskan 50 kabupaten tertinggal pada akhir Tahun 2014, juga memasang tiga target lainnya, yaitu: a) meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dari 6,6 % pada tahun 2010 menjadi 7,1 % pada Tahun 2014; b) berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal dari 18,8% pada Tahun 2010 menjadi 14,2% pada Tahun 2014; dan c) meningkatnya kualitas sumberdaya manusia (yang ditunjukkan oleh IPM) dari 67,7 pada tahun 2010 menjadi 72,2 pada Tahun 2014.
Prestasi dan komitmen pemerintah dalam menangani kesenjangan wilayah tidaklah keliru jika kita apresiasi dengan baik. Namun demikian ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan mengingat apa yang telah dilakukan pemerintah itu belum sepenuhnya sesuai harapan (masyarakat dan daerah).
Kinerja pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal salah satunya ditentukan oleh kualitas KPDT. Kedepan KPDT perlu meningkatkan kapasitas sumber daya internalnya. Bagaimanapun KPDT memiliki tugas dan fungsi yang sangat penting yaitu merumuskan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9/2005). Bahkan KPDT memiliki tugas dan fungsi tambahan dalam operasional kebijakan di bidang pembangunan infrastruktur perdesaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi lokal (Perpres No. 90/2006). Dan hampir 50 % kabupaten di Indonesia menjadi "pasien" KPDT. Maka tidak salah jika kementerian/lembaga lain, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat memiliki harapan yang tinggi atas peran yang semestinya dimainkan oleh KPDT di dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Penegasan Kabinet Indonesia Bersatu yang menempatkan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik sebagai salah satu prioritas nasional seyogyanya disikapi oleh internal KPDT secara lebih profesional dan percaya diri sehingga bisa menjadi leader (imam) yang efektif.
Hal lain yang perlu diperjelas yaitu menyangkut penetapan daerah tertinggal. Di sini perlu ada transfaransi dan konsistensi dalam methodologi, serta tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politis. Kekeliruan pemerintah dalam menetapkan status ketertinggalan suatu daerah akan berdampak pada efektifitas afirmatif action yang dilakukan kemudian.
Stategi Pembangunan Daerah Tertinggal
Penyebab utama ketertinggalan suatu daerah diantaranya karena kebijakan pembangunan yang terlalu berdimensi sektoral. Hal ini dibuktikan dengan dominannya penerapan asas dekonsentrasi dan orientasi sektoral pemerintah pusat. Di daerah juga setali tiga uang (sama saja). Ini terlihat dari kuatnya ego dinas dan pendekatan sektoral dalam RPJM Daerah.
Belum optimalnya pendekatan spasial dalam perencanaan pembangunan dapat dirasakan dari adanya ketimpangan antardaerah. Diabaikannya dimensi spasial membuat warna pembangunan daerah ditentukan "mekanisme pasar". Akibatnya modal dan orang cenderung memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan menarik, yang pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal tetap tertinggal.
Melihat problematika ini maka kedepan perlu dilakukan reorientasi strategi pembangunan daerah tertinggal. Pertama, strategi pembangunan ekonomi lokal perlu lebih menekankan dimensi spasial. Daerah perlu mengombinasikan pendekatan sektoral berbasis kluster di mana saat ini bisnis / sektor unggulan daerah maupun rakyat miskin cenderung mengelompok.
Kedua, perlu adanya integrasi strategi pembangunan perdesaan dengan strategi pembangunan perkotaan. Desa umumnya masih tertinggal dalam berbagai jenis infrastruktur. Dengan integrasi ini diharapkan dapat dikembangkan keterkaitan desa-kota (ruralurban linkage) dan jejaring antarkota (network cities).
Ketiga, diperlukan Big Push bagi percepatan pembangunan daerah tertinggal. Teori Big Push ini pertama kali dicetuskan Paul Narcyz Rosenstein-Rodan. Pada 1943, Rosenstein-Rodan menulis artikel tentang "Problems of Industrialisation of Eastern and South-Eastern Europe". Dalam teori yang belakangan dikenal dengan Big Push Model, ditekankan perlunya rencana dan program aksi dengan investasi skala besar untuk mempercepat industrialisasi di negara-negara Eropa Timur dan Tenggara.
Dalam konteks daerah tertinggal, "daya dorong yang besar" bisa diartikan modal dan infrastruktur. Aksesibilitas modal dan keberpihakannya kepada daerah tertinggal merupakan langkah strategis. Pengembangan infrastruktur yang menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat-pusat bisnis, pasar, dan jejaring internasional tampaknya perlu menjadi prioritas bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
Berdasarkan perhitungan awal KPDT total kebutuhan investasi di kabupaten tertinggal Tahun 2010-2014 mencapai sekitar Rp. 716 Triliun. Angka ini barangkali mendekati pemenuhan kebutuhan Big Push Model. Hanya saja upaya pemenuhan seluruh kebutuhan daerah tertinggal untuk keluar dari ketertinggalan hanyalah mimpi jika mengandalkan anggaran KPDT semata, karena alokasi anggaran APBN yang dikelola KPDT hanya sekitar Rp. 1 Triliun per tahun.
Besarnya dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan percepatan pembangunan daerah tertinggal perlu diupayakan dengan berbagai cara (yang syah) diantaranya melalui: (1) pemberian insentif kepada investor agar tertarik berinvestasi di daerah tertinggal, dan (2) mainstraiming alokasi anggaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk fokus pada penyelesaian ketertinggalan daerah.
Semua gambaran permasalahan dan kebutuhan daerah tertinggal di atas merupakan sebuah tantangan. Harapannya sekarang terletak pada pembuktikan komitmen pemerintah. Keinginan mengentaskan ketertinggalan daerah hendaknya tidak berhenti pada dokumen perencanaan semata, apalagi sekedar basa-basi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar